Revoluzine Blogger

apakah blog kita keren....?

Diberdayakan oleh Blogger.

Jam dan Kalender

beruang lucu maen bola

daftar pengunjung

buku tamu


ShoutMix chat widget

animasi berjalan

selamat Kanan Ke Kiri : datang dan berkunjung Kiri Ke Kanan : diblog saya Ke Atas :

pencarian

Pendidikan Sekarang Dan Masa Depan

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat.Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.

Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan". Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.

Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.

Empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).

Dalam rangka merealisasikan 'learning to know', Guru seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.

Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.

Pendidikan yang diterapkan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan dari daerah tempat dilangsungkan pendidikan. Unsur muatan lokal yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.

learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran guru dan guru sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri siswa secara maksimal.

Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima (take and give), perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses "learning to live together" (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Penerapan pilar keempat ini dirasakan makin penting dalam era globalisasi/era persaingan global. Perlu pemupukkan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama agar tidak menimbulkan berbagai pertentangan yang bersumber pada hal-hal tersebut.

Dengan demikian, tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di masyarakat dunia di era globalisasi ini.

Mengenai kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu: (1) Bagaimana kondisi gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan); (2) Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan daerah?; (3) Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan siswa, kualitas buku pelajaran); (4) Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?; (5) Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?; (6) Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi); (7) Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?.

Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak daerah, situs internet, dan sanggar belajar.

MERANCANG PENDIDIKAN MORAL & BUDI PEKERTI

Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara optimal. Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pendidikan mulai dari dalam keluarga, hingga lingkungan sekolah dan masyarakat. 

Salah satu SDM yang dimaksud bisa berupa generasi muda (young generation) sebagai estafet pembaharu merupakan kader pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah. Beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah antara lain untuk : 1) perkembangan pribadi dan pembentukan kepribadian, 2) transmisi cultural, 3) integrasi social, 4) inovasi, dan 5) pra seleksi dan pra alokasi tenaga kerja ( Bachtiar Rifai). Dalam hal ini jelas bahwa tugas pendidikan sekolah adalah untuk mengembangkan segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui pendidikan moral. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan sekolah di atas, maka setidaknya terdapat 3 alasan penting yang melandasi pelaksanaan pendidikan moral di sekolah, antara lain : 1). Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang meliputi pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti : memiliki kejujuran, empati, perhatian, disiplin diri, ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa bekerja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup manusia. 2). Sekolah merupakan tempat yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar. 3).Pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993). 

Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat di dunia, khususnya di Indonesia, kini sedang mengalami patologi social yang amat kronis. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Akan tetapi hal ini kiranya tidak terlalu aneh dalam masyarakat dan lapisan social di Indonesia yang hedonis dan menelan peradaban barat tanpa seleksi yang matang. Di samping itu system [pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang eqivalen dengan peningkatan IQ (intelengence Quetiont) yang walaupun juga di dalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional Quetiont). Sedangkan warisan terbaik bangsa kita adalah tradisi spritualitas yang tinggi kemudian tergadai dan lebih banyak digemari oleh orang lain di luar negeri kita, yaitu SQ (Spiritual Quetiont). Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam pengembangan pendidikan moral ini eksistensi SQ harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ siswa. 

Akibat dari hanyutnya SQ pada pribadi masyarakat dan siswa pada umumnya menimbulkan efek-efek social yang buruk. Bermacam-macam masalah sosial dan masalah-masalahh moral yang timbul di Indonesia seperti : 1). meningkatnya pembrontakan remaja atau dekadensi etika/sopan santun pelajar, 2). meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka bolos, nyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri, 3). berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang, 4). meningkatnya kelompok teman sebaya yang bersifat kejam dan bengis, 5) munculnya kejahatan yang memiliki sikap fanatik dan penuh kebencian, 6). berbahsa tidak sopan, 7). merosotnya etika kerja, 8). meningkatnya sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara, 9). timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seksual premature, penyalahgunaan mirasantika/narkoba dan perilaku bunuh diri, 10). timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah (Koyan, 2000, P.74). 

Untuk merespon gejala kemerosotan moral tersebut, maka peningkatan dan intensitas pelaksanan pendidikan moral di sekolah merupakan tugas yang sangat penting dan sangat mendesak bagi kita, dan perlu dilaksanakan secara komprehensif dan dengan menggunakan strategi serta model pendekatan secara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan seperti : guru-guru, kepala sekolah orang tua murid dan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk menyiapkan peserta didik untuk menelan mentah konsep-konsep pendidikan moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral (Lickona, 1992. P. 53 ) 

Pada sisi lain, dewasa ini pelaksanan pendidikan moral di sekolah diberikan melalui pembelajaran pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) dan Pendidikan agama akan tetapi masih tampak kurang pada keterpaduan dalam model dan strategi pembelajarannya Di samping penyajian materi pendidikan moral di sekolah, tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat Bagi para siswa,adalah lebih banyak untuk menghadapi ulangan atau ujian, dan terlepas dari isu-isu moral esensial kehidupan mereka sehari-hari. Materi pelajaran PPKn dirasakah sebagai beban, dihafalkan dan dipahami, tidak menghayati atau dirasakan secara tidak diamalkan dalam perilaku kehidupan hari-hari. 

Dalam upaya untuk meningkatkan kematangan moral dan pembentukann karakter siswa. Secara optimal ,maka penyajian materi pendidikan moral kepada para siswa hendaknya dilaksanakan secara terpadu kepada semua pelajaran dan dengan mengunakan strategi dan model pembelajaran seccara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua guru, kepala sekolah ,orang tua murid, tokoh-tokoh masyarakat sekitar. Dengan demikian timbul pertanyaan,bahan kajian apa sajakah yang diperlukan untuk merancang model pembelajaran pendidikan moral dengan mengunakan pendekatan terpadu ? 

Untuk mengembangkan strategi dan model pembelajaran pendidikan moral dengan menggunakan pendekatan terpadu ,diperlukan adanya analisis kebutuhan (needs assessment) siswa dalam belajar pendidikan moral. Dalam kaitan ini diperlukan adanya serangkaian kegiatan, antara lain : (1) mengidentifikasikan isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode klarifikasi nilai (2) mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran pendidikan moral agar tercapai kematangan moral yang komprehensif yaitu kematangan dalam pengetahuan moral perasaan moral,dan tindakan moral, (3) mengidentifikasi dan menganalisis masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para guru di sekolah dan para orang tua murid di tua murid dirumah dalam usaha membina perkembangan moral siswa,serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya, (4) mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal yang dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam proses pendidikan moral, (5) mengidentifikasi sumber-sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar pendidikan moral. 

Dengan memperhatikan kegiatan yang perlu dilakukan dalam proses aplikasi pendidikan moral tersebut, kaitannya dengan kurikulum yang senantiasa berubah sesuai dengan akselerasi politik dalam negeri, maka sebaiknya pendidikan moral juga dilakukan penngkajian ulang untuk mengikuti competetion velocities dalam persaingan global. Bagaimanapun negeri ini memerlukan generasi yang cerdas, bijak dan bermoral sehingga bisa menyeimbangkan pembangunan dalam keselarasan keimanan dan kemajuan jaman. Pertanyaannya adalah siapkah lingkungan sekolah (formal-informal), masyarakat dan keluarga untuk membangun komitmen bersama mendukung keinginan tersebut ? Karena nasib bangsa Indonesia ini terletak dan tergantung pada moralitas generasi mudanya. 

Pendidikan dan Mitigasi Bencana Alam Pelajaran Berharga dari Aceh

Puluhan ribu anggauta masyarakat tak berdaya yang tinggal disepanjang pantai barat Aceh dan Sumatera Utara direnggut hidupnya oleh si pembunuh massal yang bernama Tsunami. Diantara mereka yang mati, hilang tak tentu rimbanya, luka parah dan putus asa, adalah anak-anak yang tak berdosa, generasi penerus dan anak didik yang diharapkan dimasa datang dapat menjadi pilar-pilar keluarga, masyarakat dan negara.

Kiita tidak akan bisa menyalahkan 'Tsunami' si pembunuh berdarah dingin yang tidak pandang bulu dalam menentukan korbannya. Karena si Tsunami adalah bagian dari fenemona alam yang tidak mungkin dapat dihindari kedatangannya, diundur kemunculuannya dan diredakan kemarahannya oleh manusia biasa seperti kita ini.

Kalau kita tidak boleh menyalahkan si Tsunami sebagai pembuat ulah penyebab dari kematian dan kehilangan yang sangat besar dari sebagian keluarga kita, lalu siapa yang harus kita salahkan?. Siapa lagi kalau bukan sekelompok birokrat di pusat, di propinsi, di kabupaten, di kecamatan yang seharusnya dapat melindungi, mendidik, mengajari, membimbing seluruh anggauta masyarakat. Khususnya mereka yang hidup atau tinggal di sepanjang garis pantai di seluruh Indonesia.

Dalam wacana ilmu Disaster Preparedness atau Manajemen Bencana Alam, bagi Negara kita hidupnya dikelilingi oleh sejumlah ancaman bencana alam, mulai dari bahaya Letusan Gunung Api, Banjir, Kebakaran Hutan sampai kepada Gempa Bumi, yang dapat memicu timbulnya Tsunami. Sudah semestinya masyarakat kita dibekali dengan pengetahuan tentang bahaya-bahaya bencana alam tersebut diatas, mulai dari anak-anak bersekolah di TK, SD dan selanjutnya, bahkan seluruh anggauta masyarakat umum yang terkait, seperti keluarga nelayan dll.

Kita lantas patut kecewa berat, kalau kedatangan si pembunuh tsunami bisa dengan seenaknya mencabuti nyawa keluarga kita. Hanya karena mereka tidak tahu sama sekali kalau surutnya air laut dibibir pantai dengan cepat sebenarnya adalah ancaman dari datangnya bahaya gulungan tsunami yang sangat dahsyat. Petunjuk semacam ini, bisa ditemui dalam buku-buku anak sekolah dasar di beberapa Negara maju diseputar Samudra Pasifik. Bahkan masyarakat umum disana sudah mengenal betul karakteristik dari sejumlah ancaman Bencana yang rawan terjadi dilingkungan kehidupan mereka. Karena pemerintah sangat aktif memberi informasi Pra-Bencana melalui media, website, pelatihan secara kontinyu dan intens.

Sebagai contoh materi sosialisasi atau pembekalan kepada masyarakat yang diberikan pemerintah, adalah bahan yang sifatnya sederhana, antara lain 'safety rules' dalam menghadapi bahaya tsunami:

Important Facts to Know about Tsunamis (dari Tsunami Research Center Hawaii)

.Tsunamis that strike coastal locations are most always caused by earthquakes. These earthquakes might occur far away or near where you live.

.Some tsunamis can be very large. In coastal areas their height can be as great as 30 feet or more (100 feet in extreme cases), and they can move inland several hundred feet.

.All low-lying coastal areas can be struck by tsunamis.

.A tsunami consists of a series of waves. Often the first wave may not be the largest. The danger from a tsunami can last for several hours after the arrival of the first wave.

.Tsunamis can move faster than a person can run.

.Sometimes a tsunami causes the water near the shore to recede, exposing the ocean floor.

.The force of some tsunamis is enormous. Large rocks weighing several tons along with boats and other debris can be moved inland hundreds of feet by tsunami wave activity. Homes and other buildings are destroyed. All this material and water move with great force and can kill or injure people.

.Tsunamis can occur at any time, day or night.

.Tsunamis can travel up rivers and streams that lead to the ocean.

Bagi anak TK, SD dan Sekolah Lanjutan setingkat SMP dan SMA, dibuat buku bimbingan yang praktis dan sistematis dalam menghadapi bahaya gempa, tsunami maupun ancaman tornado.

Sekarang kalau kita sudah tahu akar permasalahannya, mengapa banyak jatuh korban sia-sia hanya karena factor 'ketidak tahuan' saja. Fakta menunjukkan, setelah terjadi gempa dengan skala Richter pada angka 9.00 MMI, penduduk Kota Sabang malah gembira melihat air laut yang tiba-tiba menyusut drastis, dan mencari ikan mengglepar-glepar tanpa menyadari bahaya besar yang mengancamnya. Kalau saja peristiwa alam seperti itu terjadi di pantai sepanjang Lautan Pasifik, masyarakat seketika akan ingat pada tsunami 'safety rules' yang pernah diajarkan dan dibacanya. Mereka akan segera lari menuju ketempat yang lebih tinggi, naik keatas lantai 2 atau 3 atau naik kepohon-pohon tinggi yang ada.

Nah kalau begitu apa kita langsung menyalahkan otoritas pendidikan yang seharusnya memikirkan materi-materi semacam ini juga diberikan kepada anak-anak kita sejak dini? Atau kepada penggede-penggede kita di pusat da daerah yang terkait dengan penanganan Bencana Alam, yang paling senang menangani soal-soal "Pasca Bencana" (Emergency Response; dalam Relief, Recovery & Rehabilitation Actions), yang biayanya relatif besaaaaar. Bukannya menangani upaya pencegahan terhadap timbulnya korban besar di tahap "Pra Bencana" yang lebih kepada aktifitas yang berhubungan dengan upaya preventif yang biayanya relatif tidak besar, karena hanya menyangkut pelatihan dan sosialisasi.

Silahkan anda semua menilai sendiri, siapa yang perlu disalahkan kalau ada bencana terjadi, dan banyak korban sia-sia berjatuhan.

Mari kita introspeksi bersama, tidak ada salahnya kita melihat 'best practices' yang sudah diadopsi tetangga-tetangga kita, mahal memang biaya yang harus ditanggung kita untuk mereplikasikan 'lessons learned'...tapi tidak apa dari pada terlambat sama sekali.

Artikel ini adalah sepenuhnya dalam konteks pemikiran tentang pendidikan dasar di negeri ini, khususnya di titik-titik lemah yang perlu dibenahi dan disempurnakan, karena selama ini dirasakan masih jauh dari harapan kita semua. Didalam konteks pendidikan itulah, saya merasa dapat menyumbangkan sesuatu di bidang yang selama ini masih terabaikan. Khususnya entitas pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan praktis dalam hal pencegahan, atau setidak-tidaknya mengurangi jatuhnya korban yang sia-sia atau kerugian materi masyarakat, yang tidak terbilang lagi besarnya setiap kita menghadapi bencana alam. Sehingga posting dimaksud bukan berkehendak untuk melawan takdir, atau tidak juga dimaksudkan untuk menafikan apakah kita selama ini memang sudah melupakan ajaran agama dan moral yang kita junjung tinggi. Tapi setidak-tidaknya hanya ingin mengingatkan betapa pentingnya upaya 'memberdayakan masyarakat' dan 'mencerdaskan anak bangsa' dalam hal mengembangkan upaya bersama untuk mengurangi atau mereduksi dampak bencana alam bagi masyarakat di negeri tercinta ini.

Soal banyaknya korban turis mancanegara di Thailand dan Srilanka, memang 'barangkali' sudah pernah tahu tentang cara-cara menghadapi bahaya Angin Tornado dan Badai Salju yang sangat akrab terjadi di negerinya masing-masing, tapi belum tentu untuk bahaya Gempa dan Tsunami yang datang secara mendadak, karena 'lain lubuk lain ikannya'. Tapi bukan itu yang menjadi pokok masalahnya, tapi andaikata negara-negara disekeliling Lautan Hindia sudah punya lembaga 'tsunami early warning system' seperti yang dimiliki negara kawasan Pasifik yang bekerja 24 jam penuh dan berpusat di Hawaii dan dimonitor diseluruh negara di kawasan Pasifik. Maka dipastikan banyak korban tewas dapat dreduksi di Malaysia, Thailand, Srilanka, India, Maladewa, Somalia, Kenya, sebab gelombang tsunami yang dipicu oleh Pusat Gempa di Pantai Barat Aceh, merambat dari 30-60 menit (pantai di Asian Tenggara ) dan sampai 300 menit (pantai di Afrika), dan 10-15 menit di Pesisir Aceh setelah gempa besar terjadi. Sayangnya semua negara korban tsunami masih belum siap untuk mengantisipasinya dengan memadai, walaupun Pusat Riset Tsunami di Hawaii sudah mencatat terjadinya pergerakan gelombang laut di kawasan Asia Tenggara sesaat setelah terjadinya gempa besar di Indonesia. Sebab pada waktu itu adalah hari minggu ditambah belum ada badan nasional yang stand-by 24jam di negara seputar Lautan Hindia.

Tetapi dalam artikel ini, saya hanya ingin membatasi diri hanya pada wacana yang berkaitan dengan 'pendidikan'. Oleh sebab itu saya menghidarkan diri dari problematik early warning system dari segi aplikasi teknologi, tetapi lebih kepada aplikasi pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam membicarakan Konteks pendidikan yang behubungan secara khusus dengan 'Inisiatif Global dalam Meminimalisasi Dampak Bencana'; maka hal semacam itu dapat dipelajari dan dikaji secara empiris dan akademis, sehingga dapat menghasilkan upaya perencanaan dan persiapan rinci dalam menghadapi ancaman bencana yang sewaktu-waktu dapat datang dihadapan kita. Berdasarkan fenomena seperti tersebut diatas, PBB telah mendeklarasikan dekade 1990-2000 sebagai Dekade Internasional untuk Mengurangi Akibat Bencana Alam, atau 'International Decade for Natural Disaster Reduction (IDNDR)', yang memfokuskan penajaman terhadap penderitaan umat manusia diseluruh dunia yang diakibatkan oleh Bencana Alam, dan sudah saatnya negara-negara di seluruh dunia dapat mengambil langkah-langkah untuk berusaha menguranginya.

Program PBB tersebut diatas kemudian ditindak lanjuti dalam kegiatan Mid-term Review dari IDNDR, yang diselenggarakan di Yokohama pada bulan Mei 1994. Pertemuan internasional tersebut dihadiri oleh wakil dari berbagai negara, LSM, masyarakat ilmiah, dunia usaha, kalangan industri dan media secara bersama berbagi pengalaman, melakukan penilaian permasalahan, serta berusaha melakukan perubahan stratejik. Pertemuan Yokohama telah menghasilkan suatu tonggak bersejarah dari banyak negara untuk secara proaktif melakukan upaya tindak lanjut yang sangat substansial dalam mengantisipasi masalah yang sangat signifikan didalam mengurangi dampak bencana terhadap masyarakat.

'The Yokohama Message' atau 'Pesan dari Yokohama', diantaranya adalah merefleksikan gambaran yang sebenarnya dari suatu tuntutan yang sangat mendasar dan nyata dari masyarakat, yang membutuhkan perlindungan dari pemerintah., karena ketidak keberdayaan mereka dalam menghadapi ancaman bencana alam yang dapat datang secara tiba-tiba dan bersifat merusak.

Beberapa diantara pesan-pesan dari pertemuan Yokohama, adalah :

.Mereka yang terkena bencana sebagian besar adalah masyarakat miskin dan dari kalangan yang mempunyai kedudukan sosial rendah di negara-negara sedang berkembang, dan sangat tidak berdaya dalam menghadapi situasi bencana yang begitu tiba-tiba dan sangat merusak.

.Pencegahan Bencana, Mitigasi dan Kesiapan Menghadapi Bencana adalah lebih baik daripada Tindakan Penanggulangan Bencana.

.Tindakan Penanggulangan Bencana sendiri adalah merupakan upaya bantuan yang membutuhkan biaya yang relatif sangat besar.

.Upaya pencegahan memberi kontribusi terbesar terhadap peningkatan keselamatan umat manusia.

Indonesia, yang keadaan alamnya dikelilingi oleh laut, gunung berapi, sungai-sungai besar serta patahan sesar dan pertemuan antara lempeng benua Asia dan Australia, sangat rawan terhadap terjadinya berbagai jenis bencana alam yang membahayakan jiwa penduduknya, baik dari segi ukuran maupun intensitasnya. Dengan jumlah penduduk yang tertinggi no 5 di dunia, Indonesia juga mempunyai tingkat resiko yang tergolong sangat rawan terhadap ancaman bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, kekeringan dan kebakaran hutan. Sementara itu, disamping kerawanan bencana sangat berbeda dari suatu daerah dengan daerah lainnya, dengan kondisi yang remote, sebagai negara kepulauan mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi didalam upaya penyelamatan korban bencana dan rehabilitasi kerusakan yang terjadi.

Berbagai macam bencana alam yang bersifat merusak dan membahayakan kelangsungan hidup warga baik yang hidup dikota-kota besar, di desa-desa terpencil, dapat saja terjadi setiap saat tanpa dapat menghidarinya. Walaupun ancaman bencana alam tidak dapat di tolak dan di elak-kan oleh siapapun juga, tetapi setidaknya pemerintah dan masyarakat harus dapat menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya, melalui manajemen pengembangan sistim prakiraan bencana beserta penyebarluasan informasi peringatan dini kepada masyarakat (Early Warning Disaster Preparadness).

Pada wacana pemikiran diatas, sudah waktunya kita melakukan pembenahan-pembenahan dibidang pendidikan dasar dan pendidikan masyarakat, yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan upaya manusia untuk mulai memikirkan usaha untuk meminimalisir dampak-dampak yang sangat merugikan dari setiap event bencana alam yang terjadi disekitar kita.

BAGAIMANA MEMBERIKAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK-ANAK ANDA?

 Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya. Warisan alami yang dibawa setiap jiwa ke bumi; hampir semua sikap buruk yang diperlihatkan manusia apa adanya merupakan apa-apa yang didapatkan setelah mereka dilahirkan kebumi. Ini menunjukkan bahwa kebaikan itu bersifat alami sementara kejahatan tidak alami. 


Berfikir luas tentang kehidupan yang berkaitan dengan anak bukan hal yang mudah. Namun kita harus ingat bahwa orang dewasa sering menyepelekan kapasitas pikiran seorang anak, yang sebetulnya seringkali lebih berkeinginan untuk mengerti dan lebih mampu memahami sesuatu daripada seorang dewasa. Meskipun Anda tidak bisa memulai pendidikan anak dengan subyek yang mendalam, anda dapat selalu menyimpan desain besar yang Anda lihat dan ingin Anda raih dihadapan Anda.

Ada kesalahan terbesar pendidkan modern, dengan segala metode melatih anak yang mutakhir, adalah telah kehilangan sesuatu yang paling penting, yaitu: pelajaran tentang sifat tidak mementingkan diri sendiri. Orang mungkin berfikir bahwa seseorang yang tidak mementingkan diri sendiri tidak akan mampu untuk menjaga kepentingan hidupnya sendiri; akan tetapi dalam kenyataan nampaknya tidak demikian. Orang yang mementingkan dirinya sendiri mengecewakan orang lain dan pada akhirnya merugikan dirinya sendiri. Manusia itu bebas, saling tergantung satu dengan yang lainnya, dan kebahagiaan setiap orang tergantung pada kebahagiaan semuanya. Pelajaran inilah yang harus dipelajari orang-orang sekarang sebagai pelajaran pertama sekaligus terakhir.

Manusia merupakan hasil seluruh ciptaan, sumber keindahan yang nyata. Tujuan penciptaan adalah keindahan. Oleh karena itu, jelas bahwa tujuan hidup adalah untuk berkembang ke arah keindahan. Alam, dalam semua aspeknya yang beraneka, berkembang menuju keindahan. Oleh karena itu, jelas bahwa tujuan hidup adalah untuk berkembang ke arah keindahan. Dalam mendidik anak, pertimbangan pertama haruslah bahwa benih keindahan ditebarkan dalam hati mereka. Saat tanaman itu tumbuh dia harus dirawat dengan sabar. Kesuburan tanaman itu menjadi kebanggaan orang yang menanamnya sehingga perkembangan anak merupakan tanggung jawab orang tuanya. Orang tua harus belajar untuk menjadi contoh bagi anak-anak mereka. Tidak ada teori yang dapat mendatangkan pengaruh jika tidak disertai praktik. Wajar jika orang tua berharap anak-anak mereka berbeda dan lebih baik dari mereka.

Pelajaran pertama yang dibutuhkan seorang anak adalah menyelaraskan pemikiran, perkataan, dan tindakannya. Segala hal dalam kehidupan ini, lahir-batin, luar-dalam saling bereaksi. Oleh karena itu, sedikit pengetahuan tentang nada dan irama penting di awal pendidikan anak. Anak harus diajari unsur-unsur musik mengenai pola titi nada yang akan menghubungkannya dengan teman-teman, dengan orang-orang yang belum ia kenal, dengan orang tuanya, ketika bermain atau berada di satu meja yang sama; dalam kondisi yang bervariasi ia harus bisa merasakan pola titi nada berbeda. Anak harus diajari bagaimana membuat pilihan kata-kata saat berbicara kepada orang-orang yang berlainan, kepada orang asing, kepada teman-temannya, kepada pelayan dirumah, membuat suara lebih keras atau lebih lembut harus dilakukan dengan pemahaman. Seorang anak harus diajari untuk berbicara dan bertindak sesuai dengan kondisi yang berlaku pada saat itu. Tertawa pada saatnya tertawa, serius pada saat keseriusan dibutuhkan. Dalam segala hal yang dilakukannya, ia harus mempertimbangkan dan memikirkan kondisi yang ada.

Pikiran anak lebih aktif daripada orang dewasa, untuk dua alasan. Yang pertama, pikiran anak tumbuh dengan energi yang besar, yang membuatnya aktif selama masa pertumbuhannya, karena itu anak selalu tidak tenang baik dalam pikiran maupun dalam tindakan. Seorang anak di satu ruangan dapat membuat orang merasa ada seratus anak di sana. Anak tidak pernah diam, ia senang menggunakan mental dan energi fisiknya dengan berbagai cara sepanjang waktu.

Untuk menjadi perhatian agar pendidikan untuk anak-anak harus dipertimbangkan dari lima sudut pandang yang berbeda: fisik, mental, moral, sosial, dan spiritual. Jika satu sisi berkembang dan sisi lainnya tidak, secara alami anak akan menunjukkan beberapa kekurangan dalam perkembangannya.

Dengan demikian, pemerintah sudah pasti bertanggung jawab atas pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan ini harus disusun sedemikian rupa sehingga baik orang miskin maupun kaya memiliki kesempatan yang sama dalam sebuah pembelajaran yang terdiri dari lima spek pendidikan yang disebut di atas. Ketika pembelajaran ini selesai, anak-anak bisa mengambil profesi apapun yang mereka sukai. Jika mereka menginginkan pendidikan lebih lanjut mereka bisa mendapatkannya dengan harta mereka sendiri jika mereka mampu (atau bantuan pendidikan yang bisa didapatkan dari pemerintah). Namun pendidikan yang penting harus diberikan kepada setiap anak oleh masyarakat. Pembelajaran pendidikan bisa diringkas dan dibuat menjadi pembelajaran pendidikan umum; anak tidak hanya harus diajari untuk membaca dan menulis, tapi juga untuk memiliki sebuah gagasan serba bisa dalam hidup dan bagaimana menjalani hidup yang paling baik baginya.

Pendidikan fisik dapat diberikan, bahkan sejak bayi, dengan bantuan musik. Seseorang bayi harus diusahakan untuk menggerakkan tangan dan kakinya ke atas dan ke bawah, dan saat ia tumbuh ia harus diajari untuk melakukannya secara ritmik. Ketika anak tumbuh, saat ia dapat menari dan memainkan beberapa permainan yang berbeda, gerak badan harus diajarkan. Dengan cara seperti ini anak-anak akan diuntungkan, mereka tidak merasa bosan dan menganggap ini sebagai rekreasi.

Di samping itu, makanan yang bersih dan bergizi diperlukan oleh anak saat ia tumbuh. Ia juga harus mendapatkan waktu tidur yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak. Bersamaan dengan itu, harus ada waktu yang dipakai untuk beristirahat, dan harus dilakukan dengan cara tertentu sehingga anak yang cendrung untuk selalu aktif akan merasa senang melakukan istirahat.

Seorang anak bagaikan tanaman yang sedang tumbuh. Tidak hanya makanan jasmani yang ia perlukan tapi juga makanan rohani. Makanan rohani yang paling baik adalah dengan mencintai anak dan membalas cintanya. Ia juga harus diajari keseimbangan, untuk menjaga agar emosinya selalu ada dalam batas dan wilayah tertentu. Anak harus diajari menggunakan kasih sayang melalui ungkapan yang manis dalam pemikiran, ucapan, dan tindakannya. Pemberian cinta yang salah akan merusak anak sehingga ia bersifat kasar, sombong, dan acuh tak acuh. Kita tidak boleh berlebihan dalam menunjukkan cinta kita kepada anak-anak.

Anak harus belajar untuk mengenal hubungan dan kewajibannya terhadap semua yang ada disekelilingnya. Kita harus membiarkan ia tahu apa yang diharapkan ayah, ibu, saudara perempuan, dan saudara laki-lakinya dari dirinya; karena mengenal hubungan satu sama lain merupakan tanda karakter manusia yang tidak ada pada binatang. Anak harus mengetahui bahwa ia bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya, bukan hanya kepada teman-temannya, tapi juga kepada seseorang yang melihatnya dengan terus menerus; bahwa sesulit apa pun keadilan yang ditegakkan di dunia, nanti ada saat dan tempat di mana keseimbangan keadilan akan menyeimbangkan segalanya. Kematian hanyalah sebuah jembatan yang harus dilalui setiap jiwa dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya. Anak harus dikenalkan dan di dekatkan pada sang pencipta alam semesta dan isinya yaitu Allah swt (Tuhan Yang Maha Esa) 

Malas, penghalang kesuksesan

Malas, merupakan salah satu penyebab negara Indonesia ini tertinggal dengan negara lain khususnya hubungannya dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Sebagai contoh janganlah jauh-jauh dahulu ke Eropa, tapi yang dekat terlebih dahulu seperti Malaysia ataupun Singapura yang secara geografis luas negaranya maupun kekayaan alamnya jauh berbeda dengan Indonesia namun jauh berbeda pula dalam hal "manusianya", padahal dulu pelajar maupun guru-guru dari Malaysia datang ke Indonesia ini untuk belajar memperdalam ilmunya.

Malas bisa berarti banyak hal, malas belajar (umum terjadi pada pelajar) ataupun malas dalam lingkup yang universal yaitu malas dalam mengerjakan sesuatu Tapi memang rasa malas sudah merupakan fitrah dari Tuhan dan kita harus yakin bahwa pemberian Tuhan itu selalu ada manfaatnya, hanya saja permasalahannya terletak pada bagaimana kita mengatasi rasa malas tersebut, mencoba mengambil manfaat atau hikmah dari penanganan rasa malas kita dan belajar melihat dari sudut pandang yang lebih baik.

Malas itu bisa diibaratkan seperti keimanan kita yang ada kalanya meningkat dan ada kalanya menurun. Tapi ternyata kalau dilatih terus menerus dan teratur keimanan itu bisa meningkat atau setidaknya tidak menurun. Nah..begitupun dengan malas, dengan cara teratur diikuti dengan kekonsistenan kita mengerjakan metode atau cara mengatasi rasa malas, insyaallah rasa malas bisa di atasi dan bukan tak mungkin bisa berubah menjadi rajin..

Aku jadi terinspirasi oleh temanku yang mengatakan seperti ini, "wah..kalau ada yang nggak malas, hebatlah". Dari perkataan terdapat makna yaitu orang yang malas dengan yang rajin, yang sukses dengan yang gagal sama-sama menghabiskan waktu 24 jam perhari, yang membedakan hanyalah manajemen dan pemanfaatan waktu tersebut. Ada beberapa cara untuk mengatasi rasa malas, diantaranya ialah :

1. Banyak membaca

Jenis bacaannya bisa bermacam-macam, buku, komik, novel ataupun majalah karena disini tidak mempermasalahkan dahulu apakah buku itu baik atau tidak untuk dibaca, tapi yang penting adalah benar terlebih dahulu, benar dalam rangka untuk membentuk kebiasaan dan sifat tidak malas karena nanti itu akan menjadi kepribadian dan karakter kita. Dampak dari membaca adalah kita akan berfikir lebih "jauh" dan akan merasa rugi jika membuat waktu kita tidak efektif dan terbuang dengan sia-sia karena telah terbiasa untuk selalu mengefektifkan waktunya dengan cara yang benar. DR. Aidh Al-Qarni dalam bukunya "La Tahzan" menuliskan "Berpengetahuan dan berwawasan luas, menguasai banyak teori keilmiahan, berfikir secara orisinil, memahami permasalahan dan argumentasi pijakannya adalah sedikit dari sekian bayak factor yang dapat membantu menciptakan kelapangan di dalam hati. Orang yang berpengetahuan luas adalah orang yang berfikiran bebas dan berjiwa teduh". Sedangkan untuk implementasi dari membaca bisa dengan mengajar, menulis, dll.

Setelah kita membaca yang benar, kemudian bertambah tingkatan menjadi baik sehingga menjadi "membaca yang benar dan baik". Baik disini mengandung arti membaca buku -buku yang bermanfaat dan baik tentunya seperti buku tentang pengembangan diri, ilmu pengetahuan maupun agama, bukan lagi buku seperti komik, novel , majalah, dsb. yang biasanya informasinya tidak berlaku untuk jangka waktu yang lama dan tentunya dari segi manfaat dan bobot isi berbeda dengan buku yang baik tadi.

Dan jika setelah membaca kita ingin mempunyai semangat, bacalah buku-buku tentang orang-orang yang sukses atau tokoh -tokoh terkenal, biasanya setelah membaca buku seperti itu, timbul semangat untuk maju dan ingin sukses seperti mereka atau bahkan melebihinya. Bukankah hidup ini harus selalu dinamis dan terus mengalami peningkatan seperti hadits yang sering kita dengar " Barang siapa hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka dia orang yang terlaknat, barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka dia orang yang merugi dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka dialah orang yang diridhai atau diberi rahmat oleh Allah".

2. Permainan pikiran.

Pokoknya, ketika kita ingin melakukan sesuatu dan tiba-tiba rasa malas muncul, jangan pernah mengucapkan ataupun berpikiran negatif seperti "ah.cape nih, sepertinya tidak akan benar". Lebih baik berpikiran positif seperti "wah..sepertinya asyik nih.pasti rame, come on semangat..semangat,de el el. Karena bagimanapun juga energi yang digunakan untuk berpikiran yang negatif dengan positif itu adalah equal alias sama, jadi bukankah lebih baik apabila kita hanya memasukkan pikiran yang positif saja. Otak secara otomatis akan menerima perintah dan masukan dari kita. Kalau berpikiran malas, pasti rasanya malas terus, otak kita akan mencari alasan supaya kita menjadi malas. "Apa yang anda pikirkan akan menjadi kenyataan" (Quantum Learning). Kemudian jika kita melakukan sesuatu harus sesuai mood dan kalau tidak mood maka yang ada hanya malas, yakinlah tidak akan sempurna, seharusnya mood atau tidak, kerjakan saja. Justru mood itu datang saat kita sedang melakukan suatu kegiatan, bukan sebelum kegiatan tersebut akan dilakukan. Masalah penampakan mood itu hanya sebuah alasan sebagai persembunyian akan rasa malas tersebut. Jadi Intinya kerjakan saja dan selalu berpikiran positif, semua itu akan membuat hidup lebih hidup.. Rasa malas tidak akan pernah hilang jika kita terus berpikiran malas dan hanya menunggu malasnya hilang. Seperti slogan salah satu produk sepatu, Just Do It .!

3. Memiliki Tujuan

Hidup bisa diibaratkan dengan sebuah kapal laut dan kitalah nahkodanya. Kalau seorang nahkoda tidak punya tujuan dan tidak mempunyai kejelasan mau dibawa kemana kapal tersebut, maka kapak itu hanya akan terombang-ambing oleh ombak dan hanya mengikuti kemana air mengalir. Dengan tujuan kita punya impian dan akan mengerahkan upaya untuk mencapai tujuan tersebut sehingga rasa malas akan tersingkirkan.

Sangatlah rugi kalau hidup ini layaknya kapal tadi, hanya mengikuti kemana air mengalir, tidak punya suatu kejelasan. Hidup ini terlalu berharga untuk disia-siakan, seperti kata bijak "masa depan adalah apa yang kita lakukan pada hari ini". Terus kalau kita malas terus bisa ditebak bagaimana jadinya masa depan kita. Semakin banyak yang kita perbuat semakin nyatalah jati diri kita. Kemudian untuk mengatasi malas, kita juga harus selalu introspeksi diri sendiri supaya kita terus memperbaharui diri dan memperbaiki kesalahan yang kita perbuat. Dan jangan lupa juga untuk selalu berpikiran ke depan. Silakan malas malasan sekarang, tapi kita juga harus siap dan berani menanggung akibatnya suatu saat nanti, khan apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai. Ingat, kitalah pemimpin diri kita sendiri !.

4. Berdoa

Meskipun dengan semangat yang menggebu, banyak membaca, dan terus mencari cara untuk menghilangkan malas, tetap saja kalau tanpa seizin -Nya, semua itu tidak akan pernah berhasil. Supaya kita tidak jadi orang yang sombong, banyak - banyaklah berdoa karena doa merupakan suatu pengharapan yang akan membuat kita selalu termotivasi khususnya secara psikologis. Kata - kata yang diucapkan dalam doa akan menjadi suatu pemikiran yang positif bagi kita. Lalu apa yang kita lakukan setelah kita berdoa ? jawabnya adalah ikhtiar. Kita tidak bisa hanya berdoa saja tanpa melakukan suatu upaya. Sebagai wujud tanggung jawab dari doa kita adalah kita bersungguh-sungguh berusaha mewujudkan doa tersebut. Setelah itu barulah kita bertawakkal yang berarti menyerahkan setiap urusan kepada - Nya. Kita harus sadar bahwa kita itu penuh dengan keterbatasan, kita hanya bisa berusaha dan berdoa sedangkan Tuhanlah yang berhak menentukan. Tentunya supaya doa kita dikabulkan, syarat mutlak adalah rajin beribadah..

Perlu diingat bahwa yang benar-benar ada itu adalah orang yang rajin dengan yang malas, bukan yang pintar dengan yang bodoh, karena kita itu semuanya makhluk yang unggul, coba bayangkan sebelum kita terlahir ke dunia ini kita sudah bersaing dengan berjuta-juta sperma, dan kitalah yang keluar sebagai pemenangnya.

Mungkin masih banyak cara-cara yang lain, tapi semoga cara-cara diatas bisa menghilangkan atau minimal mengurangi rasa malas kita. Tapi semuanya kembali kepada diri kita sendiri karena rasa malas akan terus menghantui kalau kitanya sendiri tidak pernah ada keinginan kuat untuk menghilangkannya.

Quo Vadis Pendidikan Modern

Semenjak manusia berinteraksi dengan aktifitas pendidikan ini semenjak itulah manusia telah berhasil merealisasikan berbagai perkembangan dan kemajuan dalam segala lini kehidupan mereka. Bahkan pendidikan adalah suatu yang alami dalam perkembangan peradaban manusia (1).

Dan secara paralel proses pendidikan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bentuk metode, sarana maupun target yang akan dicapai. Karena hal ini merupakan salah satu sifat dan keistimewaan dari pendidikan, yaitu selalu bersifat maju (taqaddumiyyah). Sehingga apabila sebuah pendidikan tidak mengalami serta tidak menyebabkan suatu kemajuan atau malah menimbulkan kemunduran maka tidaklah dinamakan pendidikan. Karena pendidikan adalah sebuah aktifitas yang integral yang mencakup target, metode dan sarana dalam membentuk manusia-manusia yang mampu berinteraksi dan beradabtasi dengan lingkungannya, baik internal maupun eksternal demi terwujudnya kemajuan yang lebih baik (2).Sebagai contoh nyata dari argumen di atas dapat kita lihat dari dua kenyataan berikut:

ketika Uni Sovyet meluncurkan pesawat luar angkasanya yamg pertama spotnic pada 4 oktober 1957, Amerika Serikat tergoncang dengan dahsyatnya. Demam spotnic melanda seantero Amerika. Betapa tidak, karena Amerika adalah negara besar pemenang perang dunia II telah kedahuluan oleh Uni Sovyet. Sampai-sampai presiden AS ketika itu membentuk tim khusus untuk merespon kejadian besar ini. Tim tersebut bukan bertugas menyelidiki kenapa Uni Sovyet berhasil mendahului mereka dalam meluncurkan pesawat luar angkasa, melainkan mereka mendapat intruksi lansung dari presiden untuk melakukan suatu tugas yang tidak disangka-sangka oleh para pengamat politik waktu itu. Tugas mereka adalah meninjau kembali kurikulum pendidikan AS mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Dengan bekerja keras dan dalam waktu yang singkat tim tersebut berhasil mengeluarkan statement yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan AS dari semua jenjang pendidikan sudah tidak layak lagi dan harus direvisi. Sebuah keputusan yang teramat berani waktu itu. Tapi itulah sebuah konsekuensi kalau hendak berkompetisi dalam kemajuan peradaban.

Amerika pun mulai melakukan pembaharuan pendidikan dalam segala segi dan dimensinya. Mulai dari kurikulum, mata pelajaran, tenaga pengajar, sarana pendidikan sampai kepada sistem evaluasi pendidikan. Usaha mereka dengan sangat cepat membuahkan hasil yang sangat luar biasa. Pada tanggal 14 juli 1969 mereka berhasil meletakkan manusia pertama di permukaan bulan. Hanya dalam kurun waktu 12 tahun mereka berhasil mengungguli teknologi Uni Sovyet. Waktu yang relatif singkat, kurang dari masa pendidikan seorang anak dari tingkat dasar sampai jenjang perkuliahan (3)

Hasil lain dari itu tentunya dapat disaksikan oleh dunia semuanya dimana AS sekarang telah menjadi kekuatan tunggal setelah runtuhnya US.

Kejadian yang hampir serupa sebenarnya pernah terjadi di Jepang seusai kekalahan mereka dalam perang dunia II dengan dibom atomnya kota Hiroshima dan Nagasaki. Jepang praktis lumpuh dalam segala segi kehidupan. Bahkan kaisar Jepang waktu itu menyatakan bahwa mereka sudah tidak punya apa-apa lagi kecuali tanah dan air. Belum lagi hukuman sebagai orang yang kalah perang yang melarang Jepang untuk membangun angkatan bersenjata. Semua itu merupakan hambatan yang sangat besar untuk dapat bangkit dan membangun sebuah peradaban baru. Tapi perkiraan akal manusia tidak selamanya benar. Jepang bangkit perlahan-lahan dengan memperbarui sistem pendidikan mereka dalam semua jenjang pendidikan. Dalam masa yang relatif singkat Jepang berhasil membangun negara mereka menjadi negara yang kuat dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Bahkan merupakan negara ekonomi terkuat yang menjadi ancaman bagi AS sendiri. Coba kita bandingkan dengan Indonesia yang mulai membangun diri pada waktu yang sama dengan Jepang (kita merdeka 1945 dan Jepang di bom atom 1945). Jepang telah berlari jauh di depan, kita malah masih tertatih-tatih bahkan jalan di tempat dan kadang kala juga mundur ke balakang. Contoh nyata dari kemajuan pendidikan di Jepang adalah berobahnya pengertian buta huruf dikalangan rakyat Jepang. Buta huruf yang sudah tidak ada lagi di Jepang mempunyai pengetian "tidak bisa menggunakan komputer". Betapa jauhnya pengertian ini dengan pengertian aslinya di kalangan dunia ketiga, yang berarti tidak bisa tulis dan baca.

Dua fenomena di atas merupakan gambaran nyata dari urgensi pendidikan yang telah dipahami dan diaplikasikan dengan baik oleh AS dan Jepang. Langkah yang mereka ambil telah membuktikan kepada dunia bahwa kemajuan pendidikan berarti kemajuan sebuah bangsa. Dan bangsa manapun di dunia ini yang mengabaikan pendidikan maka tunggulah kehancurannya.

Kalau kita mengamati pendidikan di Indonesia maka kita akan mendapatkan beberapa fenomena dan indikasi yang sangat tidak kondusif untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maju dalam bidang pendidikan apalagi dalam bidang ekonomi. Fenomena dan indikasi tersebut antara lain:

Fenomena ini dapat ditangkap dengan mudah oleh siapa saja yang memiliki sedikit wawasan mengenai kependidikan. Walaupun tentunya penelitian ilmiah mengenai masalah ini sangat perlu dilakukan agar kesimpulan yang diambil lebih bernilai objektif. Namun secara sederhana dapat kita ketengahkan beberapa indikasi umum yang diketahui oleh banyak orang. Berdasarkan jenjang pendidikan yang telah diselesaikan oleh para pendidik, dapat kita temukan kondisi berikut ini: para guru di tingkat pendidikan dasar di Indonesia sangat jarang diantara mereka yang memiliki ijazah strata satu (S1). Rata-rata adalah tamatan sekolah menengah atau sarjana muda. Untuk tingkat pendidikan menengah pertama dan atas, maka akan kita temukan juga kondisi yang hampir sama. Tenaga pengajar ditingkat ini kebanyakan sarjana muda dan sedikit sekali yang merupakan sarjana penuh. Dan bisa dikatakan tidak ada diantara mereka yang tamatan S2. Selanjutnya untuk tingkat perguruan tinggi secara umum, dan jenjang S1 secara khusus, masih banyak sekali dosen yang hanya tamatan S1. Dalam waktu yang sama sangat jarang dosen yang bergelar Doktor mengajar di tingkat ini. Bahkan diantara dosen-dosen yang hanya memiliki ijazah S1 tersebut kadang kala tidak mengisi mata kuliahnya, tetapi digantikan oleh asistennya yang biasanya adalah mahasiswa/ mahasiswi tahun terakhir yang berprestasi atau sarjana baru.

Sementara itu kalau ditinjau dari segi kesiapan mereka secara ilmiah dalam aktifitas belajar mengajar, maka mayoritas dari sarjana atau tenaga pengajar yang terjun kebidang pendidikan ini tidak memiliki spesialisasi dalam bidang pendidikan. Artinya bukan lulusan dari fakultas pendidikan dan sejenisnya. Terutama untuk tingkat pendidikan menengah ke bawah. Padahal ilmu-ilmu pendidikan sangat perlu dimiliki oleh siapa saja yang menggeluti aktifitas mendidik. Karena mendidik bukanlah sekedar transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid atau siswa, tetapi ia merupakan aktifitas yang komplek dan integral yang mempunyai metode dan seni tersendiri.

Kalau kita adakan studi komparatif secara kasar dengan sebagian negara-negara arab yang nota bene negara ketiga seperti negara kita, maka kita akan sedikit tertinggal dari mereka. Padahal sering ejekan dari mulut kita bahwa orang-orang arab tidak lebih maju dari kita. Di Mesir saja tidak ada sarjana S1 yang mengajar di tingkat S1. Minimal tenaga pengajarnya adalah S2, tapi kebanyakan adalah Doktor (S3). Untuk tingkat sekolah menengah tidak ada tenaga pengajar yang lulusan sekolah menengah juga, kebanyakan lulusan S1, bahkan tidak jarang yang sudah magister ataupun lulusan Diploma Khusus (tingkatan setelah S1). Dan tidak jarang pula guru-guru pada tingkat pendidikan dasar pemilik ijazah diploma khusus tadi. Sementara itu di negara teluk terutama Kuwait dan Emirat Arab, mewajibkan tenaga pengajar untuk pendidikan tingkat menengah pertama ke bawah adalah lulusan dari fakultas-fakultas pendidikan. Ini baru perbandingan kasar dengan sebagian negara Arab, apalagi kalau kita bandingkan dengan negara maju seperti Amerika dan Inggris, maka kita akan sangat jauh tertinggal.

Indikasi lain dari gejala di atas adalah minimnya karya ilmiyah yang dihasilkan oleh para sarjana Indonesia. Contoh sederhana adalah masih jarangnya karya tulis dari penulis-penulis Indonesia. Yang ramai memenuhi pasar adalah buku-buku terjemahan, baik dari bahasa Arab, Inggris maupun bahasa lainnya. Kalaupun ada karya tulis dari penulis-penulis terkenal Indonesia, namun belum mampu menjadi rujukan di kawasan Asia tenggara apalagi untuk level Internasional. Coba kita bandingkan dengan karya Buya Hamka, tafsir Al Azhar yang menjadi rujukan bagi kebanyakan negara asia tenggara. Begitu juga karya Pak Natsir, fiqh dakwah yang juga tersebar di daratan melayu. 

Menyoal Carut Marut Pendidikan

Setiap pergantian tahun ajaran baru, para orang tua disibukkan dengan kegiatan mencari sekolah bagi anak-anaknya. Tidak perduli walaupun mahal. Bahkan jika perlu main suap. Asalkan sang anak dapat masuk di lembaga pendidikan yang dianggap bergengsi atau prestisius. Kendatipun demikian, benarkah lembaga pendidikan yang bergengsi tersebut pasti bermutu? Nampaknya tidak demikian. Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat mengoreksi sistem pendidikan. Agar tidak terjebak pada komersialisasi saja. Sedangkan mutunya banyak diabaikan. Terlepas dari kekurangan itu, membanding sistem pendidikan dasar, lanjutan dan menengah umum kita nampaknya jauh lebih baik daripada sistem lembaga pendidikan tinggi (LPT) yang mencetak sarjana.

Menjadi seorang sarjana adalah dilema besar. Jika mereka tak mampu berbuat apa-apa, maka bukan hanya masyarakat yang mencela. LPT tempat mereka berproses, sebagai sarjanapun juga ikut menyalahkan. Benarkah, banyaknya sarjana kita sebagai penganggur adalah kesalahannya sendiri? Hal inilah yang jarang dipertanyakan. Sebab kampus sudah menjadi "tempat suci" yang disakralkan. Celakanya diperparah juga oleh media yang jarang menyoal pertanggungjawaban LPT. Ini bisa dimengerti. Karena mereka turut berkepentingan dengan suburnya bisnis LPT. Diduga, guyuran pemasangan iklan, di media, saat musim penerimaan mahasiswa baru, bisa bernilai ratusan juta hingga milliaran rupiah.

Kondisi tersebut tidak adil. Hal ini sungguh bertolakbelakang dengan rayuan dan janji-janji saat promosi untuk menarik calon peserta didik baru di LPT. Kalau mau jujur. Tanpa banyak disadari, sebetulnya lembaga pendidikan tinggi mencetak sampah masyarakat. Seorang bergelar sarjana menjadi tidak berguna, ketika kebingungan menentukan perannya ditengah-tengah masyarakat. LPT terkesan tidak mau tahu dengan lulusannya. Yang banyak dilakukan, hanya mencatat alumninya yang sukses bekerja. Padahal seharusnya mereka berani bertanggungjawab dengan ketidakberhasilannya membuat para sarjana eksis ditengah masyarakat.

Ketidakmampuan seorang lulusan LPT yang kini jumlahnya makin membengkak, sesungguhnya lebih dipengaruhi oleh buruknya proses belajar, yang digunakan selama ini. Cukup susah untuk mendefinisikan apa saja yang menjadi penyebab utamanya. LPT, dengan segala cara, akan mempertahankan citranya tetap baik ditengah masyarakat. Semakin keras dipertanyakan kualitasnya, maka semakin hebat mereka mengelak. Tetapi ada satu jurus yang sulit untuk didebat dengan dalih apapun. Termasuk dalih tidak ilmiah, dan tidak akademis. Sebagaimana sering dijadikan penangkal, dari serangan kritik. Jika memang benar, LPT telah mendidik seseorang dengan berkualitas, beranikah mereka membuat perjanjian yang berkekuatan hukum? Alih-alih apabila ternyata lulusannya tidak sesuai, dengan janjinya saat promosi, akan sukarela digugat dipengadilan sekalipun.

Pentingnya membuat perjanjian dengan calon siswa sebelum masuk ke LPT, akan benar-benar menjadi seleksi mana LPT yang sesungguhnya lebih berkualitas dalam mencetak sarjana. Sebab, LPT yang tidak bermutu proses belajar-mengajarnya, segera akan tersisih. Sistem penentuan kualitas LPT ala Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang selama ini diterapkan perlu dikoreksi kembali. Untuk menentukan kualitas LPT tidak cukup dilihat, dari berapa jumlah pengajar beritel S2 maupun S3 yang dimiliki. Kemudian perangkat fasilitas dan bangunan yang megah. Penelitian-penelitian yang meragukan akurasinya. Tentunya, akreditasi berdasarkan hal tersebut berpotensi menyesatkan. Semakin menjauhkan cita-cita LPT itu sendiri dari tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Di saat berlangsungnya test seleksi penerimaan mahasiswa baru(SPMB) tanggal 14 hingga 16 Juli 2004 kemarin, sebuah lembaga pendidikan luar sekolah (PLS) di kota Malang, Jawa Timur, memasang iklan dalam sebuah acara expo pendidikan, yang menarik untuk dikaji.

Iklan tersebut, menunjukkan contoh surat Perjanjian yang telah dibuat antara pemilik PLS, dengan calon siswa diatas kertas bermaterai. Disebutkan didalamnya. Selain semua hal-hal yang sifatnya normatif untuk disampaikan. Pasal-pasal perjanjian mencantumkan perihal jaminan pasca pendidikan. Termasuk konsekuensi bagi penyelenggara, untuk sukarela dituntut apabila tidak sesuai dengan promosi yang pernah dilakukan. Diantaranya, bersedia mengembalikan biaya pendidikan seratus persen selama proses pendidikan. Termasuk bila perlu dituntut dimuka pengadilan.

Substansi apa yang dilakukan oleh PLS tersebut bisa menjadi bahan perenungan bersama. Kiranya, apabila tujuhpuluh persen saja para penyelenggara pendidikan dinegeri ini, termasuk LPT mampu membuat perjanjian yang berkonsekuensi hukum seperti itu, maka secara drastis pula kita akan melihat sarjana yang tidak berdaya menurun jumlahnya. Missi dan vissi pendidikan LPT, seyogyanya, bukan hanya pemanis identitas saja. Tetapi perlu dituangkan secara riil mulai bentuk perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan program pendidikan yang jelas, terarah dan bertanggungjawab.

Agar LPT berani bertanggungjawab dengan para sarjananya, maka setidak-tidaknya mereka harus memenuhi beberapa hal berikut ini. Pertama, memiliki suatu gambaran yang matang, mengenai siapa dan bagaimana, calon mahasiswa (input)yang akan disaring, sebagai peserta didik nantinya. Kalau perlu sistem pemilihan jurusan dalam SPMB yang memungkinkan peserta memilih lebih dari satu LPT negeri, diganti menjadi test lokal seperti yang dilakukan LPT swasta. Mengapa? Hal ini bertujuan untuk memberi keleluasaan pada LPT sendiri dalam menentukan kriteria calon peserta didik yang akan mereka bentuk. Sekaligus, sebagai sikap kritis terhadap mainstream pendidikan yang sering mengacu pada pepatah lama Tut Wury Handayani. Membiarkan dan mengawasi. Seharusnya mainstream pendidikan sekarang adalah menciptakan dan mengembangkan.

Kedua, mengacu pada hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi, maka perlu membatasi jumlah calon peserta didik LPT sesuai dengan daya serap yang dibutuhkan.Artinya LPT ikut bertanggungjawab menciptakan peluang dan kesempatan sebagai tempat eksis para sarjana. Bukannya memproduksi saja. Tetapi, juga menciptakan pasar sesuai dengan arah bidang studinya masing-masing. Hal ini merupakan langkah penting untuk mencegah terjadinya komodifikasi pendidikan.

Ketiga, memperbarui pola belajar mengajar di LPT sesuai dengan perkembangan kondisi sekarang dan dimasa yang akan datang. Mengutip fakta hasil penelitian Thompson (1951:26),(1951:19-20,70) didalam Francis Wahono (2001:14) terungkap bahwa sistem ekonomi menjadi penentu pendidikan itu sudah berlangsung sejak jaman Sparta (900SM) dan Athena (500 SM). Kemudian Jaman Reaissance (1400-1600). Kondisi sekarang adalah globalisasi dimana negara tidak lagi dibatasi oleh dinding tertutup yang memungkinkan terjadinya persaingan bebas. Sehingga mengabaikan fakta, LPT kita bisa menjadi pengemis dinegeri sendiri dihadapan sarjana barat.

Dan, sekarang sudah mulai terbukti. 

Pendidikan agama


Saat ini sedang marak pro-kontra masalah pendidikan agama di sekolah menurut agama peserta didik dan diajarkan oleh guru agama yang seagama dengan peserta didik. Secara prinsip hal itu mudah dikatakan dan dilaksanakan jika di dalam satu kelas hanya terdiri dari dua kelompok agama peserta didik, tetapi jika dalam satu kelas ada 5 (lima) agama peserta didik, saya membayangkan betapa sulitnya untuk mengatur jadwal dan tempat, jika hal itu dilaksanakan di sekolah. Mengapa?
    1) mencermati sekolah-sekolah saat ini hampir semua ruang/kelas sudah dimanfaatkan untuk kegiatan belajar mengajar, bahkan ada sekolah yang kurang ruangan.
    2) jika dalam satu kelas ada 5 (agama) peserta didik: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha..kapan waktu pengajaran dapat dilaksanakan? Dalam waktu yang sama? Dimana dan bagaimana pembagian tempatnya? Dalam waktu yang berbeda? bagaimana pengaturan jam/waktunya? Ingat jatah jam pelajaran agama ada 2 jam mata pelajaran. Atau di suatu sekolah , katakan di SD atau SMP, para peserta didik dari kelas terendah sampai kelas tertinggi dikumpulkan menurut agama masing-masing dan diajarkan agama sesuai dengan agamanya dan oleh guru agama yang seagama? Apakah hal ini tidak akan menjadi kesulitan bagi guru agama ybs..?
Dalam tulisan ini saya hanya ingin memperlihatkan betapa sulitnya pengaturan waktu dan tempat jika pelajaran agama diajarkan menurut agama masing-masing dan di sekolah yang bersangkutan ada 5 (lima) agama . Sebagai contoh di sekolah negeri saat ini yang mayoritas adalah peserta didik agama Islam, untuk para peserta didik yang beragama katolik atau kristen diberi kesempatan pada hari Jum'at, dimana sementara rekan-rekan yang beragama Islam sedang berdoa di masjid..apa yang terjadi: mereka (para peserta didik yang beragama Katolik atau kristen) memperoleh ruangan yang tidak memadai, karena memang yang ada katanya hanya ruangan itu.

Hemat kami: jika pendidikan agama peserta didik harus diajarkan sesuai dengan agama yang peserta didik yang bersangkutan dan oleh guru agama yang seagama peserta didik...kegiatan ini tidak dilaksanakan di sekolah melainkan di "masjid, gereja dst..", dengan kata lain pendidikan agama menjadi tanggungjawab orangtau dan pengurus agama yang bersangkutan, bukan tugas sekolah.

Dengan demikian pendidikan yang diselenggarakan di sekolah sungguh murni untuk mencerdaskan peserta didik. Sekali lagi ingat ada aneka kecerdasan: kecerdasan intelektual, kecerdasan phisik, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual dst. 

Korupsi Pendidikan sangat Merugikan Bangsa

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Jusuf Kalla Kalla menegaskan, korupsi yang terbesar di negeri ini justru dilakukan oleh kalangan pendidikan.

Korupsi dunia pendidikan itu berbentuk pengatrolan nilai dari oknum pendidik, untuk meluluskan peserta didiknya. Pada Rakernas Perguruan Tinggi se-Indonesia di Yogyakarta, Kamis (27/3), Menko Kesra mengatakan, selama ini kalangan pendidik akan sangat bangga jika anak didiknya dapat lulus 100%. \"Akibatnya sangat buruk, anak-anak menjadi merasa bahwa belajar itu tidak perlu.\"

Dia menjelaskan, sekarang ini kalangan pejabat, termasuk mereka yang duduk di dunia pendidikan, harus bisa tegas tidak meluluskan anak yang tidak pantas untuk naik kelas atau tidak pantas lulus karena nilainya memang kurang mencukupi. \"Bahkan perlu kita menertawakan sekolah-sekolah yang masih bangga dengan keberhasilannya meluluskan 100% anak didiknya.\"

Pengatrolan nilai demi angka kelulusan semacam ini harus segera dihilangkan. Sebab menurut Menko, hal ini akan berakibat fatal, yaitu pembodohan dan menimbulkan kemalasan peserta didik.

Pengawasan BBM

Pada kesempatan yang sama, Menko Kesra menandatangani kerja sama dengan 35 perguruan tinggi di Indonesia, untuk terlibat melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PKPS BBM (Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakan Minyak), yang akan dilaksanakan 2003 ini di sejumlah daerah.

Beberapa waktu lalu pihak Menko Kesra sudah meminta kesediaan kalangan perguruan tinggi untuk membantu mengawasi pelaksanaan PKPS BBM, demi mencegah kebocoran dan penyalahgunaan dana.

Ketua Pelaksana Koordinasi Sosialisasi dan Pemantauan PKPS BBM Kantor Menko Kesra Soedjono Poerwaningrat mengatakan, pemantauan dan evaluasi yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi, berbeda dengan pemantauan yang dilakukan oleh unsur pemerintahan.

Ia mengatakan, pemantauan yang dilakukan oleh perguruan tinggi itu antara lain berupa sejauh mana pelaksanaan PKPS BBM berlangsung, sesuai dengan ketentuan sasaran yang dituju, jumlah dan mutu, serta waktu yang ditetapkan.

\"Selain itu pihak perguruan tinggi akan menganalisis faktor penyebab bila terjadi ketidaktepatan, melakukan kajian evaluatif tentang efektivitas program, dan memberikan umpan balik kepada penyelenggara PKPS BBM tentang masalah, hambatan penyaluran kompensasi serta upaya perbaikan yang dapat ditempuh selama pelaksanaan program itu,\" jelasnya.

Disebutkan, selama tiga tahun terakhir ini dana PKPS BBM terus mengalami kenaikan. \"Pada 2000 lalu sebesar Rp800 miliar, pada 2001 menjadi Rp2,2 triliun, 2002 menjadi Rp2,8 triliun, dan pada 2003 ini dialokasikan sebesar Rp4,4 triliun.\"

Menurut Soedjono, tujuan program tersebut adalah untuk meringankan beban pengeluaran masyarakat khususnya yang tidak mampu, dengan kompensasi yang meliputi beras murah, bantuan pendidikan umum dan pendidikan agama, bantuan pelayanan kesehatan, bantuan bahan makanan untuk panti sosial, bantuan alat kontrasepsi, bantuan transportasi, pemberdayaan masyarakat pesisir, dana bergulir, dan penanggulangan pengangguran. 

PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL

Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.
Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?
Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.
PERLU PENDIDIKAN YANG BERMORAL
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.

Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini.
Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak).
Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar.
Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini.
Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan.
Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.
Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas.
Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%.
Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian?
Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut.
Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja.
Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.
PEJABAT HARUS SEGERA BERBENAH DIRI DAN MENGUBAH PERILAKU
Kalau kita menginginkan generasi penerus yang bermoral, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Maka semua pejabat yang memegang jabatan baik legislative, ekskutif maupun yudikatif harus berbenah diri dan memberi contoh dulu bagaimana jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok kepada generasi muda mulai saat ini.

Karena mereka semua adalah orang-orang yang berpendidikan dan tidak sedikit pejabat yang bergelar Prof. Dr. (bukan gelar yang dibeli obral). Mereka harus membuktikan bahwa mereka adalah hasil dari sistim pendidikan nasional selama ini. Jadi kalau mereka terbukti salah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, jangan cari alasan untuk menghindar. Tunjukan bahwa mereka orang yang berpendidikan , bermoral dan taat hukum. Jangan bohong dan curang. Apabila tetap mereka lakukan, sama saja secara tidak langsung mereka (pejabat) sudah memberikan contoh kepada generasi penerus bahwa pendidikan tinggi bukan jaminan orang untuk jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok. Jadi jangan salahkan jika generasi mudah saat ini meniru apa yang mereka (pejabat) telah lakukan . Karena mereka telah merasakan, melihat dan mengalami yang telah pejabat lakukan terhadap bangsa ini.
Selanjutnya, semua pejabat di negara ini mulai saat ini harus bertanggungjawab dan konsisten dengan ucapannya kepada rakyat. Karena rakyat menaruh kepercayaan terhadap mereka mau dibawah kemana negara ini kedepan. Namun perilaku pejabat kita, lain dulu lain sekarang. Sebelum diangkat jadi pejabat mereka umbar janji kepada rakyat, nanti begini, nanti begitu. Pokoknya semuanya mendukung kepentingan rakyat. Dan setelah diangkat, lain lagi perbuatannya. Contoh sederhana, kita sering melihat di TV ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong atau ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal mereka sudah digaji, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Kalau ke kantor hanya untuk tidur atau tidak datang sama sekali. Atau ada pengumuman di Koran, radio atau TV tidak ada kenaikan BBM, TDL atau tariff air minum. Tapi beberapa minggu atau bulan berikutnya, tiba-tiba naik dengan alasan tertentu. Jadi jangan salahkan mahasiswa atau rakyat demonstrasi dengan mengeluarkan kata-kata atau perilaku yang kurang etis terhadap pejabat. Karena pejabat itu sendiri tidak konsisten. Padahal pejabat tersebut seorang yang bergelar S2 atau bahkan Prof. Dr. Inikah orang-orang yang dihasilkan oleh pendidikan nasional kita selama ini?
Harapan
Dengan demikian, apabila kita ingin mencetak generasi penerus yang mandiri, bermoral, dewasa dan bertanggung jawab. Konsekwensinya, Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan Indonesia harus mampu memberikan suri tauladan yang bisa jadi panutan generasi muda. jangan hanya menuntut generasi muda untuk berperilaku jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berprilaku santun, bermoral, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.

Tapi para pemimpin bangsa ini tidak melakukannya. Maka harapan tinggal harapan saja. Karena itu, mulai sekarang, semua pejabat mulai dari level tertinggi hingga terendah di legislative, eksekutif dan yudikatif harus segera menghentikan segala bentuk petualangan mereka yang hanya ingin mengejar kepentingan pribadi atau kelompok sesaat dengan mengorbankan kepentingan negara. Sehingga generasi muda Indonesia memiliki panutan-panutan yang bisa diandalkan untuk membangun bangsa ini kedepan.

Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang

Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).
Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Nilai
Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Fungsi
Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.

pendidikan

dunia pendidikan

sejak dini pendidikan haruslah di ajarkan pada anak-anak, karena pendidikan sangat penting, bukan hanya buat anak-anak saja, tetapi pendidikan juga sampai kita tua nanti, tetapi sekarang banyak yang tidak melanjutkan pendidikan di akibatkan banyak yang tidak melanjutkan pendidikan, karena pendidikan sangat mahal, apakah tidak ada bantuan bagi para yang tidak dapat melanjutkan pendidikan. sehingga masih banyak yang tidak bersekolah?
jadi bagi para anak indonesia tetap semangat demi bangsa indonesia.

Facebook Twitter RSS